Sore itu, rumah sudah mulai sepi, para warga yang tadi ikut mengantar Bapak ke tempat terakhir menuju Tuhannya mulai kembali ke rumah masing-masing. Aku masih terpaku di depan rumah, duduk di kursi goyang reot yang selalu digunakan bapak sambil minum teh atau sekedar bermain dengan cucu-cucunya. Dari sisi ini nampak motor butut Bapak yang sudah menemani almarhum lebih dari 40 tahun. Bapak bilang, sebelum mampu membeli mobil, dulu motor tua itu yang mengantar Bapak ke kantor, menemani Ibu berbelanja, dan juga mengantar aku pulang pergi sekolah. Masih terngiang, saat duduk di bangku SMA, bapak mulai bisa membeli mobil, karena adik adikku juga sudah besar. Dua motor sebelumnya bapak jual untuk menutup dana mobil, tapi bapak kekeh untuk mempertahankan motor tuanya.
"Biarlah, itu bapak pakai ke majid saja." Itu kata Bapak. Lagian siapa yang akan membeli motor tua seperti itu, harganya juga pasti rendah, pikirku.
Tampak warna merahnya mulai memudar, bercampur dengan sedikit putih, kuning, coklat, dan entah warna apalagi. Jok usangnya juga sudah robek di banyak sisi. Saat aku bekerja dan merantau, aku menawari bapak untuk membeli motor baru,
"Biar aku saja pak yang membelikan." Tapi bapak menolak, aku tawari untuk memperbaiki, mengecat ulang bapak juga menolak.
"Biarlah, motor ini akan mengingatkan bapak, bahwa bapak juga sudah tua." Alasan bapak mulai membuatku gundah, tapi bapak mengucapkan dengan senyum, aku tau bahwa Bapakku memang luar biasa.
Sudahlah, Bapak sudah kembali dengan Allah, aku juga harus melanjutkan hidup, dan bersiap-siap juga untuk menunggu waktuku yang akan mengikuti bapak. Pandanganku mengarah ke depan, mengamati hilir mudik tetangga yang tak kunjung henti, kembali aku terlempar pada kejadian lebih dari tujuh tahun yang lalu. Niatnya, aku ingin mengunjungi pujaan hati, aku sudah wisuda, dan sudah diterima kerja di kota besar. Tidak mungkin membawa mobil bapak ke rumahnya, apa kata tetangga nanti kalau anak Bapak pergi ke rumah perempuan yang bukan mukhrimnya. Aku mulai menyalakan motor, bahkan percobaan ke lima pun motor Bapak masih belum menyala, syukurlah aku berhasil dipercobaan yang entah keberapa belas, semangatku bertemu dia lebih besar dari lelahku. Saat baru keluar rumah, motor bapak kembali mati, aku kesal setengah mati saat itu. Lalu Bapak keluar rumah dengan baju koko, sarung bermotif kotak coklat, dengan peci putih yang menyempurnakan pakaian Bapak.
"Lho Ndre, mau dibawa kemana motor bapak, kamu mau ke masjid juga? Sudah rapi begitu. Ayo kita Ashar di masjid, kamu yang bawa ya!" Ingin sekali aku mengadu ke Bapak, motornya sudah butut pak, tak akan bisa menyala. Tapi bapak sudah di sampingku, biar Bapak tau sendiri saja motornya sudah harus ganti. Dengan malas aku mulai kembali menyalakan, dengan sekali percobaan motor itu menyala, aku sungguh merasa dipermainkan, tak habis pikir. Aku dan Bapak mulai berboncengan menuju masjid.
"Pak, motor bapak sering mogok ya?"
"Lho, nggak pernah mogok kok Ndre, kan sudah kamu coba toh?"
"Memangnya sering Bapak pakai?"
"Ya sering, setiap ke masjid Bapak kan ya selalu bawa motor ini Ndre."
Aku hanya berpikir bahwa, mungkin kalau ada pawangnya dia bisa menyala.
Kini aku sadar, setelah seminggu lalu motor itu sudah tak dapat menyala lagi, bertepatan dengan bapak yang dilarikan ke rumah sakit. Aku mengerti, motor itu tidak rela melewatkan satu kesempatan pun untuk menjadi saksi dari tabungan-tabungan pahala yang Bapak buat. Aku mulai menyadari, bahwa tabungan pahala memang harus lebih utama, motor usang saja lebih memilih berada di masjid dari pada menemaniku menemui sang pujaan hati.
Umara Hasmarani Rizqiyah Hasibuan
Malang, 00.20
Hebat mbk umara, sebagai lelaki saya jadi ikut malu,
BalasHapusnggak lah. mas fauzi udah keren kok
HapusKece bat cuyy
BalasHapus