RUH YANG KEMBALI
Brum…
Ckit..
Pria
ini, sangat tak tau tempat dan aturan. Ini sudah tengah Malam, dan suhu udara
amat rendah. Apa kata tetanggaku kalau melihat dia yang datang berkunjung ke
kosku di tengah malam. Penampilannya malam ini bahkan tak bisa dibilang baik, kaos acak-acakan, celana coklat lusuh,
jaket jeans yang dengan noda dimana-mana. Entah sudah berapa lama pakaian itu
meleket pada tubuhnya. Aroma yang ia keluaran amat menusuk indra penciuman,
entah berapa banyak alkohol yang telah ia tenggak malam ini, entah sudah berapa
batang rokok yang kembali berhasil merusak paru-parunya hari ini, lingkar
matanya bahkan sudah amat cekung, Tuhan, pria ini benar-benar sudah berhasil
merusak tubuhnya sendiri.
“Ada kah hal penting? Kau tahu
ini jam berapa? Tidak bisakah besok saja? Aku bahakan baru saja selesai mengetik
laporanku” nada datar dan sinis yang aku lontarkan dengan suara rendah tak
berhasil membuatnya jengah, iya justru dengan santai menyulut api pada batang rokoknya, duduk bersila di atas jok
motor trail yang entah milik siapa. Dia selalu membawa kendaraaan berbeda tiap
berkunjung
“Kau tidak tau sopan santun
terhadap tamu.” Dia merubah posisi duduknya menghadap ke arahku yang berdiri di
sisi kanan motor, di depan pagar.
“Perlukah? Tamunya bahkan lebih
tidak sopan.” Pria ini haarus disadarkan bahwa aku tidak ingin kembali
disusahkan malam ini.
“Kau tahu betul bahwa hanya kau
yang aku percaya.” Asap rokoknya dia semburkan ke arah wajahku, pria ini
sungguh malang.
“Tidak, kau masih punya Tuhanmu,
berhenti bergantung padaku, aku bisa mati kapan saja, dan kau” aku mengarahkan
telunjukku padanya “ingin ikut aku ke surga?” Aku tersenyum sinis padanya,
“Tidak, aku tidak mungkin bisa
ikut kau ke surga, tempatku di neraka” dia menjatuhkan batang rokoknya dan
menginjak dengan dua kali hentakan kaki.
“Jay, aku mohon, jangan seperti
ini, kau masih punya Tuhan, jangan merusak dirimu terus dan jangan jauhi
masalahmu. Hadapi dia, bisakah kau lakukan itu? Setidaknya lakukan untukku.”
Aku menatap sendu ke arahnya, selalu hal ini yang kami debatkan tiap bertemu,
aku sudah lelah, mataku sudah mulai berkaca, pria ini, teman yang paling aku
sayang.
“Kau tahu aku tak bisa, kau tahu
aku cuma punya kau, kau tahu bahwa aku bahkan rela jika Tuhan ingin mengambilku
sekarang, aku bahkan rela jika semua yang aku punya hilang, tapi tidak dengan
dirimu, aku mohon, sudah cukup yang lain menjauhiku, kau jangan, aku mohon,
boleh yang lain tapi jangan dirimu” dia menunduk dan menangis, aku dan dia tahu
bahwa hidup sangat tidak mudah. Mejadi sepasang sahabat dari taman kanak-kanak
membuatku paham betul apa yang dirasakannya, apa yang diinginkannya, dan apa
yang mengganggu dirinya.
“Aku tahu, aku tahu, tapi aku mohon,
kembalilah. Paman dan bibi pasti bingung mencarimu yag sudah tidak pulang.” Aku
mendekat padanya, dan mengelus puncak kepalanya.
“Tidak, kau tahu, bahkan mereka
tidak menghubungiku selama ini, aku pergi dari tahun lalu, dan mereka bahkan
tak ada yang mencari, aku sudah dibuang Res, aku dibuang, tak bisakah kau
pahami aku?” Dia menatap sendu diriku yang ada di depannya, pria malang ini
benar-benar butuh sandaran. Aku semakin mendekat dan memeluknya yang duduk di
atas jok, aku memeluknya amat erat dan
membiarkan dia menumpahkan segala rasa sedih yang dia punya. Semakin lama aku
mulai merasakan air merembes dari punggugku, hatiku juga ikut sakit melihatnya
begini, aku tak ingin dia seperti ini, aku merindukan tawanya, aku merindukan senyumannya, dan aku merindukan
mata teduhnya.
“Aku mengerti Jay, aku mengerti,
tapi tak inginkah kau mengunjungi mereka?” Aku kembali membujuknya. Biapun ayah
dan ibunya tidak mencarinya, jangan sampai dia menjadi anak durhaka. Biarpun
masalah keluarganya semakin berat, tapi dia harus tetap maju, cukup sudah dia
merelakan masa SMA nya untuk merusak dirinya. Tawuran, alkohol, judi entah
apalagi yang sudah dia perbuat. Dia harus bisa bangkit.
“Aku lelah mendengar pertengkaran
mereka, aku lelah mendengar kata cerai setiap hari, aku muak harus melihat
mereka baik-baik saja di luar rumah. Aku takut kembali menemui ibuku berjalan
dengan pria lain, aku takut kembali menangkap basah ayahku di club yang sama
dengan wanita berbeda tiap harinya. Aku lelah tidak dianggap, aku lelah hanya
menjadi penonton tanpa bisa memperbaiki, aku lelah, aku lelah, aku lelah, aku
lelah.” Dia kembali menangis dan kali ini lebih kencang, aku juga kembali
meneteskan air mataku, aku tahu sakitnya, aku tahu bahwa dia sudah amat lelah.
“Kalau begitu, rubahlah dirimu
Jay, kembalilah menjadi Jay yang dulu, Jay-nya Resti yang hangat, yang suka
bercanda dan selalu melindungiku. Aku rindu kau lindungi, aku rindu kau jaga
sepanjang waktu, aku rindu berbagi cerita tentang hal yang tak penting seperti
duu, aku mohon jangan begini, kembalilah Jay, kembali, aku mohon.” Entah bagaimana
ceritanyaa sekarang justru aku yang berda di pelukannya, aku yang menangis di
pundaknya, dia mengelus punggungku pelan, dan air mataku kembali mengalir suara
tangisku semakin dalam, aku butuh Jay-ku yang dulu.
“Res, aku pergi. Aku janji tidak
akan mengeluh padamu lagi. Aku janji.” Dia mengusap pelan rambutku, melepas
pelukannya dan tersenyum sekilas. “Kau masuklah, sudah malam. Terimakasih untuk
malam ini, aku janji ini yang terakhir.” Dia mulai menaiki motornya dan
menghidupkan kontak motor. Aku menatapnya nanar. “Masuk Res, masuk. Aku akan
pergi setelah kau masuk.” Aku melangkah pelan menuju pintu.
“Jay,” aku memanggilnay pelan
“dua blok dari sini ada masjid Nurul Ikhlas.” Aku tersnyum menatapnya, dia
balas menatapku sendu dan mengangguk pelan. Entah apa maksudnya. Aku mengunci
pintu dan bersandar, Tuhan kembalikan Jay-ku, kembalikan dia seperti yang
dahulu. Aku mohon.
Pagi
ini aku berangkat menuju kampus. Kosan dan kampusku tidak jauh. Entah sejak
kapn tapi jantungku dari tadi berdetak amat kencang. Keringat terus turun dari
pelipisku, perasaanku tak enak. Kakiku gemetar tiap mengambil langkah.
Terimakasih Res, aku
menyayangimu. Sungguh. Tetaplah menjadi gadis manis. Selamat tinggal.
Itu sms yang Jay kirik padaku jam
3 pagi tadi, aku tak bisa tidur dan berhenti memikirkannya. Hatiku meracau tak
jelas. Aku butuh Jay saat ini, aku harus melihatnya. Dia harus baik baik saja.
Aku berlari terus melawan arah dari kampusku. Aku berlari dengan ransel yang
berisi laptop serta memeluk buku di lenganku. Aku berlari kemanapun kakiku
melangkah, aku harus bertemu Jay, aku harus bertemu dirinya. Dia harus
menemuiku. Pikiranku kacau, pandangangku kian buram, aku sungguh harus bertemu
dirinya. Kakiku berhenti di depan sebuah bangaunan dengan nuansa hijau. Warna kesukaan
Jay, aku tersenyum tipis mengingat itu.
Masid Nurul Ikhlas. Tapi, kenapa ramai sekali. Aku masuk dengan kaki
bergetar, Tuhan aku mohon agar kabar baik yang aku dengar. Hatiku semakin resah
setelah melihat motor trail yang ada di pekarangan masjid, aku tau itu milik
siapa, hatiku semakin gelisah.
“Pak, maaf ini kenapa ramai
sekali ya pak?” Aku bertanya pada salah seorang warga yang paling dekat
denganku berdiri suaraku gemetar menahan isak tangis.
“Itu mbak, ada yang baru
meninggal. Dia meninggal setelah sholat. Masih muda mbak kasiahan. Dia
meninggal waktu lagi sujud.” Bapak itu menatap pintu masjid dengan sedih.
Sungguh ada apa ini, jangan sampai yang aku pikirkan menjadi kenyataan Tuhan,
aku mohon. “Sepertinya bukan warga sini mbak, jadi belum tahu mau menghubungi
keuarganya bagaimana.” Bapak itu menatapku yang sudah bersimbah air mata,
beliau mungkin bingung. Aku berterimakasih dan berjalan pulang. Sungguh aku tak
sanggup, aku menagis tersedu, jangan, jangan, jangan, jangan Jay-ku aku mohon.
“Res.” Suara itu sungguh aku
tahu, suara itu. Aku berbali dengan tergesa, terpaku menatap pria dengan
setelan koko dan sarung, lingkar matanya yang amat aku hapal. Dia menatapku
tersenyum. Aku kembali menangis sekaligus berucap syukur. Tatapannya padaku
kembali, senyum simpul itu kembali, dia kembali. Terimakasih Tuhan, kau telah
mengembalikannya.
3 Januari, Kota Bertuah
Umara Hasmarani
Komentar
Posting Komentar