Ini salah satu cerita yang saya baca waktu duduk di kelas 1 MA dulu, dari buku yang judulnya 10 Tokoh yang Paling Berpengaruh di Dunia. Bukunya nggak mahal kok, waktu itu harganya cuma 10.000 dan halamaannya juga sedikit. saya juga nggak inget sih itu terbitan apa, soalnya udah lama banget, harap maklum ya, hehe . Waktu itu sih sebenarnya karena dapat tanggung jawab buat menulis di majalah sekolah, ya secara dulu saya ikut ekstrakulikuler majalah sekolah, AKSI nama majalahnya, Apresiasi dan Kreasi Siswa Intelek. Nah, ini untuk rubrik "Cermin" kalau tidak salah, saya juga lupa, hehe. Duh saya merasa tua sekali karna melupakan banyak hal. Tapi disini saya mau coba buat edit beberapa kata-katanya yang kurang efektif. Terus memperbaiki segala ke typo-annya juga. Tapi kalau masih amburadul mohon maaf ya, masih minta kemakluman nih. Hihihi.
Sebelumnya, cerita ini bukan untuk menjatuhkan pihak manapun. hanya seperti retell dari sebuah penyampaian. Terimakasih
Suatu hari, seorang wanita yang tengah mengenakan gaun pudar dia menggandeng suaminya yang berpakaian sederhana dan sudah terlihat agak usang, turun dari kereta api di Boston, Amerika Serikat. Mereka berjalan dengan malu-malu menuju kantor pimpinan Harvard University. Sesampainya disana, mereka bertemu dengan sekertasris universitas, sang sekertaris langsung mendapat kesan bahwa mereka adalah pendatang dari kampung, orang udik, sehingga tidak mungkin ada urusan dengan Harvard dan bahkan mungkin tidak pantas berada di kampus yang ternama itu.
Sebelumnya, cerita ini bukan untuk menjatuhkan pihak manapun. hanya seperti retell dari sebuah penyampaian. Terimakasih
Suatu hari, seorang wanita yang tengah mengenakan gaun pudar dia menggandeng suaminya yang berpakaian sederhana dan sudah terlihat agak usang, turun dari kereta api di Boston, Amerika Serikat. Mereka berjalan dengan malu-malu menuju kantor pimpinan Harvard University. Sesampainya disana, mereka bertemu dengan sekertasris universitas, sang sekertaris langsung mendapat kesan bahwa mereka adalah pendatang dari kampung, orang udik, sehingga tidak mungkin ada urusan dengan Harvard dan bahkan mungkin tidak pantas berada di kampus yang ternama itu.
“Kami ingin
bertemu Pimpinan Harvard,” Kata sang pria lembut.
“Sayang sekali,
beliau hari ini sangat sibuk,” Sahut sang sekertaris cepat, terkesan
menyepelekan kedunya.
“Kami akan
menunggu,” Jawab sang wanita tua dengan sabarnya.
Selama
empat jam sang sekertaris mengabaikan mereka. Dia berharap, pasangan tersebut
akhirnya akan patah semangat dan pergi. Tetapi ternyata dugaannya meleset.
Keduanya tidak beranjak dari tempat duduk mereka.
Pasangan
tua ini tetap tenang, sabar menunggu, tanpa memperlihatkan kegelisahan. Sang
sekertaris bukan merasa kasihan, malah mulai frustasi, dan akhirnya memutuskan
untuk melapor pada pimpinannya.
“Mungkin jika
Anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka akan pergi,” Katanya pada
pimpinan Harvard yang pastinya sangat sibuk dan sedang tidak ingin diganggu.
Sang pemimpin menghela nafas dengan geram namun tak urung juga mengangguk.
Orang
seperti dia pasti tidak punya waktu untuk mereka, mereka datang tidak membuat
janji. Dan ketika dia melihat dua orang yang mengenakan baju yang warnanya
sudah kusam di luar kantornya, rasa tidak senang segera menyerbu sang pimpinan
Harvard itu, dia dengan wajah galak
menuju dua pasangan berbaju lusuh itu.
Sang
wanita berkata padanya, “Kami memiliki seorang putra yang kuliah tahun pertama
di Harvard. Dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini. Tetapi setahun
yang lalu, dia meninggal karena kecelakaan. Kami ingin mendirikan tempat di
kampus ini. Bolehkah?” Tanyanya dengan mata yang penuh pengharapan. Sang pemimpin Harvard tidak tersentuh, wajahnya bahkan memerah menandakan
kemarahannya pada pasangan itu. Dia tampak terkejut.
“Nyonya,” Katanya dengan kasar, “Kita tidak bisa mendirikan tugu untuk setiap orang yang
masuk Harvard dan meninggal. Kalau kita lakukan itu, tempat ini sudah akan
seperti kuburan”
“Oh,
bukan,” Sang wanita menjelaskan dengan cepat. “Kami tidak ingin mendirikan tugu
untuk peringatan. Kami ingin memberikan sebuah gedung untuk Harvard.”
Sang
Pemimpin Harvard memutar bola matanya, tak ada sedikit pun rasa percaya. Dia
menatap sekilas pada baju pudar dan pakaian using yang mereka kenakan dan
berteriak, “Sebuah gedung? Apakah kalian tahu berapa harga sebuah gedung?
Kalian perlu memiliki lebih dari 7,5 juta dolar AS (sekitar Rp 750 Miliar)
hanya untuk bangunan fisik Harvard”
Untuk
beberapa saat sang wanita terdiam, sang Pemimpin Harvard senang. Dia berfikir
mungkin dia bisa terbebas dari mereka sekarang. Sang wanita menoleh pada
suaminya dan berkata pelan : “Kalau hanya sebesar itu biaya untuk memulai
sebuah universitas, mengapa tidak kita buat sendiri saja?” Suaminya mengangguk
setuju. Wajah sang pemimpin Harvard tampak bingung.
Mr.
dan Mrs. Leland Stanford kemudian bangkit dan berjalan pergi meninggalkan
Universitas Harvard dengan hati galau sekaligus memunculkan semangat membara.
Mereka berdua melakukan perjalanan ke Palo Arto, California. Di sana mereka
mendirikan sebuah Universitas yang menyandang nama mereka, sebauh peringatan
untuk seorang anak yang tidak lagi dipedulikan Harvard.
Universitas
tersebut adalah Stanford University, salah satu universiats favorit kelas atas
di AS. Saingan Partai Barat terhadap Universitas Harvard dan Universitas Yale
di Pantai Timur. So,“Don’t judge the book from it’s cover!”.(ara)
Oleh : Umara Hasmarani R (Mahasiswa Teknik Arsitektur UIN Malang)
Oleh : Umara Hasmarani R (Mahasiswa Teknik Arsitektur UIN Malang)
Komentar
Posting Komentar