Langsung ke konten utama

Ibu Rumah Tangga

Dinda menatap jasad Bu RT yang terbujur kaku di depannya. Tak kuasa dia menahan tangis melihat orang yang sudah seperti ibunya, seperti gurunya, seperti panutannya meninggalkannya di dunia lebih cepat. Bu RT adalah panutan hampir seluruh ibu ibu kampung. Seorang Ibu rumah tangga yang juga membuka usaha jual baju muslimah di ruko depan rumahnya. Sering memberi pelatihan kerajinan tangan kepada ibu ibu, dan memberi edukasi bagi para ibu untuk bertani di rumah. Bu RT sering ikut pelatihan di kota, dan semua pelatihan yang diikuti beliau, beliau ajarkan kembali kepada semua ibu-ibu.

Sosok itu sudah nampak jelas garis keriput di hampir tiap inci tubuhnya, kedua anaknya yang sudah menikah baru kembali dari rumah masing masing, duduk bersama istri dan anak mereka di dekat almarhumah. Dinda kembali mengingat kata warga Bu RT baru aktif jualan, sosialisasi dan kesibukan lainnya setelah kedua anak beliau menuntut ilmu di kota, sehingga kekosongan hari beliau diisi untuk yang bermanfaat.

Setelah semua berlalu Dinda mulai memikirkan hidupnya. Mengikuti jejak suami yang dinikahinya 7 tahun lalu ke pelosok daerah untuk memberi pengobatan terbaik bagi masyarakat, dia merasa sudah melepas banyak hal. Gelar master yang sudah diraihnya serasa tak ada gunanya saat ini. Dia melepas pekerjaan sebagai Dosen untuk ikut suami di pelosok. Putra putrinya juga ikut pindah bersama.

Di hadapan smartphone yang digenggamnya, dia berselancar di media sosial Instagram untuk membunuh jenuh sembari menunggu lantai yang baru dia pel kering. Suaminya sudah pergi bekerja, kedua anaknya sedang menuntut ilmu, dan dia kembali pada rutinitas barunya, menjadi ibu rumah tangga yang berkutat dengan sapu, pel, kompor, setrikaan, dan tumpukan piring kotor. Postingan teman temannya terdahulu membuatnya terusik. Postingan Gita dengan teman-teman kantornya, postingan Dania dengan gaya mentereng di depan patung singa dengan caption hasil jerih payah bekerja. Atau postingan Junia tentang kesibukannya pada dagangan tas mewah miliknya.

Dulu, sebelum ini, dia juga seperti itu. Memposting kinerjanya, hasil kerja kerasnya, dan kesibukannya. Dulu, dia menikah dengan tetap menjadi wanita karir, memberi tanggung jawab rumah pada orang lain, dan menitipkan putra putrinya dengan orang lain. Kini, semua harus dia kerjakan sendiri. Ada rasa tak rela yang menyeruak dalam dadanya, rasa tak terima melepas banyak hal dalam hidupnya. Dia bukan wanita yang terbiasa mengurus rumah sejak kecil, ayah ibunya juga sibuk bekerja, dia terbiasa bersama pengasuhnya di rumah besar dengan fasilitas memadai. Menjadi seperti sekarang adalah perputaran besar dalam hidupnya, menjadi titik balik yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.

Ketukan pintu yang disusul banyak langkah menghentikan lamunannya. Di sana anak dan suaminya pulang untuk makan siang, ah hatinya agak menghangat sekarang. Dia salam suaminya, dia bantu anak anaknya beres-beres sebelum santap siang. Mereka sholat berjamaah Dzuhur dulu, lalu lanjut santap siang dengan melantai di depan televisi di ruang keluarga di rumah sederhana ini. Dinda menatap tiap-tiap orang tersayangnya yang makan dengan lahap, dia tahu bahwa masakannya tak seberapa dibanding Mbak Aida di rumah lama, namun melihat lahapnya mereka makan Dinda merasa terharu, membangkitkan semangatnya untuk harus memasak lebih enak, suaminya juga terlihat lebih segar dari sebelumnya, mungkin efek jahe merah dan kayu manis yang selalu dia rebus sebelum pak suami berangkat bekerja. Wajah suaminya juga terlihat lebih cerah. Bahagia memang susah di sembunyikan ternyata.

Ditatapnya keranjang baju kotor di dekat mesin cuci yang terlihat dari ruang keluarga. Baju-baju sekolah anaknya yang terlihat menyembul dari balik keranjang, mengingatkannya tentang ada banyak kertas ulangan dengan nilai bermacam-macam dan pulpen yang selalu dia temukan. Tak jarang pecahan seribu juga ada di kantong baju sekolah mereka. Memeriksa tiap detail seperti itu membuatnya punya banyak hal yang dapat dia diskusikan dengan buah hatinya. Sekaligus memantau perkembangan mereka.

Ah! Bila bukan dia yang melakukan semuanya, siapa lagi? Rasanya tak rela lahan pahala yang sudah ada di depan mata dia lepas begitu saja. Dahulu dia selalu eksis di dunia, tapi untuk eksis di akhirat dia seolah lupa. Rindu pada dunianya yang lama seolah tak tersisa lagi. Gelar master yang dianggapnya dewa bukan apa-apa lagi.

Melewati rumah Bu RT untuk ke warung membuat Dinda sedikit tersadar. Dua anak almarhumah sudah sukses sekarang, dia ingat cerita warga bahwa Bu RT mulai sibuk setelah anaknya dewasa. Menurut Dinda, beliau terlalu cerdas untuk  hanya tinggal di rumah. Tapi tinggal di rumah itu bukan sekedar "hanya", menjadi madrasah pertama, menjadi teman diskusi pertama, dan menjadi sekretariat rumah dengan posisi terpenting adalah hal luar biasa. Hatinya kembali menghangat. Dia harus menjadi ibu cerdas untuk anak-anaknya.  Ah! Lahan pahalanya sangat menyenangkan.

Umara Hasibuan
14 Januari 2019
Pekanbaru

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAHUN 2020

Di akhir tahun 2019 lalu, saya sakit, sempat dua kali masuk Rumah sakit dan bukan dalam hitungan waktu yang sebentar. Sempat masuk di RS Malang, lalu ternyata masih berlanjut saat tiba di Pekanbaru. Kalau boleh dibilang, 2020 itu tahun yang paling berat. termasuk untuk saya sendiri. Setelah heboh dengan Covid di Indonesia, saya sebenarnya merasakan manfaat dari itu. Saat sakit di Masa Pandemi, saya nggak perlu kasih alasan ini itu ke teman-teman yang ngajakin keluar, saya bisa simpan rasa sakit saya sendiri di rumah. Penyembuhan juga semakin lebih efektif karena ditemani ibu. Ibu yang selalu jagain dan Ayah yang selalu nemenin. Di akhir tahun 2020, I got My first job as an intership Architect di FCS Architect Studio, Sempat down sekali waktu itu, karena merasa tertinggal jauh dari teman-teman. Melihat teman-teman yang udah pada kerja, atau udah lanjut kuliah lagi, dan saya masih gini-gini aja. Yang paling teringat di benak saya itu, Saya anak pertama, ada dua adik saya di bawah, bagai...

Ngabuburit Sore ini

Hari ini, setelah telfon ayah tadi pagi, dikasih tau, kalau Dek Nuku mau kuliah di Jawa aja, Alhamdulillah, semua tempat menuntut ilmu itu baik, niat yang baik insyaaAllah diberkahi Allah. Sore itu, sekitar 35 menit sebelum Adzan Maghrib di Malang, saya menghubungi Nuku buat sekedar sharing , obrolan kami mulai berlanjut ke masalah teman-teman lama saya yang juga dia kenal. "Bang ini udah lahir lho kak, anaknya, kawan kakak waktu SD kan?" "Eh iya deh, Alhamdulillah kalau gitu" "Kakak yang itu juga Desember ini mau nikah kak" "Iya??? MasyaAllaaaah, tabarakallah" "Tulah, kakak aja yang belum" "Menurut Nuku kakak bagusnya kek mana?" "Kalau aku ya terserah kakak, tapi baiknya kakak cepat nikah aja" "Kenapa kayak gitu?" "Supaya tanggung jawab Ayah berkurang, kan kalau misalnya kakak keluar rumah ndak pake jilbab, Ayah juga yang dosa" "Iya sih, tapi kan kakak pake jilbab terus" ...

Anak Arsitektur ambil Arsitektur Lanskap opposite atau liniear sih?

Hello... It's me agaiiinnn Umara Udah lama banget ga pernah apdet tulisan di blog, kali ini pengen sharing karna ada beberapa orang yang lagi aktif nanya nih di DM instagram maupun WA. Saya mahasiswi S1 Arsitektur UIN Malang yang lulus tahun 2019, dan saat ini sedang menempuh pendidikan S2 di Arsitektur Lanskap IPB, banyak yang nanya, "Susah ngga sih masuk IPB?" "Arsitektur ambil Lanskap worth it ga sih ?" "Susah nggak kuliah di Lanskap?" Well, I will answer one by one . Pertama, masuk di IPB engga sesusah itu, engga ada tes tertulis ataupun tes wawancara,  tapi yang baru saya sadari di semester tiga ini, keluar dari IPB sulit cuuuy , wkwkwk sulitnya karna ada banyak banget yang harus diselesaikan buat ujian tesis. Kayak harus menghadiri seminar dari rumpun  ilmu lain, dan harus submit jurnal minimal SINTA2. Kedua, Arsitektur ambil Lanskap ilmu yang sejalan ga sih ? Well , ini agak bertolak belakang sebenernya , karna biarpun sama-sama Ars...