Langsung ke konten utama

Fredrich Silaban, Putra Pendeta Kesayangan Soekarno




Oleh : Umara Hasibuan
Saat ini, Islam memang sedang berada jauh dari rangkaian keutuhan Negara. Dalam artian, Islam seperti yang sudah Allah sebutkan, aka nada masanya pada tingkat terbawah, itulah ujian ummat sebelum datang fitnah terbesar. Tapi, untuk tulisan kali ini, saya ingin mengangkat mengenai salah satu tokoh. Karya arsitektural-nya yang mendunia dan benar-benar kokoh serta menjadi pondasi toleransi bernegara. Karena, dalam toleransi beragama, saya sendiri masih belum berani megmbil posisi dalam bagian itu.
Masjid Istiqlal, sebuah masjid dengan gaya arsitektur modern minimalis. Masjid terbesar di asia Tenggara ini, selesai dibangung pada 22 Februari 1978. Siapa yang sangka, ada banyak cerita pilu dalam perjalanan pembangunan luar biasa ini.
Dia, Fredrich Silaban. Terlahir menjadi seorang putra pendeta, pria Kristen protestan kelahiran Bonandolok, Tapanuli, Sumatera Utara, 16 Desember 1912 ini adalah lulusan STM di Jakarta. Karir ke-arsitektur-annya ia mulai dari pasar gambir. Pria batak ini menyukai desain pasar gambir pada era Batavia tersebut. Akibat ketertarikannya, dia mendaftar menjadi pegawai di Departemen Umum di bawah pemerintahan kolonial (sekarang Dinas Pekerjaan Umum). Setelah menempuh karir, sampailah dia pada jabatan direktur utama. Dengan jabatan tersebut, dia mulai melanjutkan sekolahnya di Academie voor Bouwkunst atau akademi seni dan bangunan. Belanda. Dengan jabatan tersebut, dia sudah berkeliling ke 30 Negara di dunia, disanalah dia mendapatkan jiwa arsitekturnya, yiatu “Manifestasi Identitas Asli Indonesia; Negara Yang Bebas Dan Progresif” hal ini dia tuangkan dalam beberapa karyanya di Indonesia.
Masjid Istiqlal, proses sayembara dimulai pada tahun 1955 yang langsung diketuai oleh Soekarno dengan enam orang tim juri. Dari 30 peserta yang ada, Silaban, sapaan akrab Fredrich, memenangkan sayembara tersebut.
Tuhan, kalau di mata-Mu saya salah merancang masjid, maka jatuhkanlah saya, buatlah saya sakit supaya saya gagal. Tapi jika di mata-Mu saya benar, maka menangkanlah saya” Doa itu adalah yang selalu dipanjatkan oleh Silaban selama dia menggambar untuk istiqlal.
Bukan hanya itu, dalam perjalanannya dalam memperjuangkan Istiqlal ada banyak langkah yang dia ambil. Masjid baginya haruslah menjadi tempat menusia benar-benar merasa dekat dengan Tuhan. Dia tak ingin, masjid hanya efektif dalam harfiah fungsional, tapi juga harus efektif terhadap pendekatan jiwa dan hati terhadap Tuhan.
Dengan membawa konsep Ketuhanan, selama proses perancangan, Silaban tidak hanya berkonsultasi dengan Pastur pribadinya, tapi juga bersama dua orang ulama, yaitu Buya Hamka dan dan seorang ulama lagi.  Silaban benar-benar terjun ke dalam jiwa umat muslim. Mencoba menyelam cara beribadah dan juga kedekatan emosional lainnya.
Tak hanya sampai disana, Silaban di kenal sebagai arsitek kesayangan Soekarnoe. Pola berpikir yang dimiliki Silaban hampir berjalan lurus dengan Presiden Pertama Indonesia tersebut, sehingga Soekarno dan Silaban merupakan rekan kerja yang akrab satu dan lainnya.
Kedekatan Soekarno dan Silaban tak hanya berdampak baik, namun juga berdampak buruk pada keluarga Silaban. Saat era Orde Baru, dimana rezim Soekarnoe dijatuhkan, Silaban sempat diduga sebagai seorang komunis, hingga kediamannya dijaga 24 jam oleh petugas.
Dengan semua kejadian di atas, tak luput membuat Silaban lengah, ia hampir menghabiskan separuh karirnya untuk menyelesaikan Istiqlal. Tekadnya sudah bulat bahwa, Istiqlal harus selesai sebelum dia meninggal. Hampir 24 tahun Silaban mengawal jalannya pembangunan, bahkan kala ia sudah tak sanggup berjalanpun, ia masih bertekad untuk melihat pemasangan kubah Istiqlal sembari di tandu menuju tiap jengkal Istiqlal oleh para staff.
Silaban menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 14 Mei 1984, di RSPAD Gatot Subrotot karena mengalami komplikasi. Peninggalan Silaban karyanya antara lain : Stadion Gelora Bung Karno (Jakarta/1962), Monumen Pembebasan Irian Barat (Jakarta/1963), Monumen Nasional atau Tugu Monas (Jakarta/1960), Gerbang Taman Makam Pahlawan Kalibata (Jakarta/1953), hingga Tugu Khatulistiwa (Pontianak/1938). Untuk mengenang jasanya, Jalan Gedong Sawah di Kota Bogor diganti menjadi Jalan F. Silaban.
“Dia pergi setelah mengukir sejarah, suatu sejarah yang lebih tinggi dari karya sebuah hasil seni atau teknologi, tetapi adalah sejarah kemanusiaan, kebersamaan, toleransi. Namanya akan dikenang sepanjang zaman,“
"Silaban Brotherhood"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAHUN 2020

Di akhir tahun 2019 lalu, saya sakit, sempat dua kali masuk Rumah sakit dan bukan dalam hitungan waktu yang sebentar. Sempat masuk di RS Malang, lalu ternyata masih berlanjut saat tiba di Pekanbaru. Kalau boleh dibilang, 2020 itu tahun yang paling berat. termasuk untuk saya sendiri. Setelah heboh dengan Covid di Indonesia, saya sebenarnya merasakan manfaat dari itu. Saat sakit di Masa Pandemi, saya nggak perlu kasih alasan ini itu ke teman-teman yang ngajakin keluar, saya bisa simpan rasa sakit saya sendiri di rumah. Penyembuhan juga semakin lebih efektif karena ditemani ibu. Ibu yang selalu jagain dan Ayah yang selalu nemenin. Di akhir tahun 2020, I got My first job as an intership Architect di FCS Architect Studio, Sempat down sekali waktu itu, karena merasa tertinggal jauh dari teman-teman. Melihat teman-teman yang udah pada kerja, atau udah lanjut kuliah lagi, dan saya masih gini-gini aja. Yang paling teringat di benak saya itu, Saya anak pertama, ada dua adik saya di bawah, bagai...

Ngabuburit Sore ini

Hari ini, setelah telfon ayah tadi pagi, dikasih tau, kalau Dek Nuku mau kuliah di Jawa aja, Alhamdulillah, semua tempat menuntut ilmu itu baik, niat yang baik insyaaAllah diberkahi Allah. Sore itu, sekitar 35 menit sebelum Adzan Maghrib di Malang, saya menghubungi Nuku buat sekedar sharing , obrolan kami mulai berlanjut ke masalah teman-teman lama saya yang juga dia kenal. "Bang ini udah lahir lho kak, anaknya, kawan kakak waktu SD kan?" "Eh iya deh, Alhamdulillah kalau gitu" "Kakak yang itu juga Desember ini mau nikah kak" "Iya??? MasyaAllaaaah, tabarakallah" "Tulah, kakak aja yang belum" "Menurut Nuku kakak bagusnya kek mana?" "Kalau aku ya terserah kakak, tapi baiknya kakak cepat nikah aja" "Kenapa kayak gitu?" "Supaya tanggung jawab Ayah berkurang, kan kalau misalnya kakak keluar rumah ndak pake jilbab, Ayah juga yang dosa" "Iya sih, tapi kan kakak pake jilbab terus" ...

Anak Arsitektur ambil Arsitektur Lanskap opposite atau liniear sih?

Hello... It's me agaiiinnn Umara Udah lama banget ga pernah apdet tulisan di blog, kali ini pengen sharing karna ada beberapa orang yang lagi aktif nanya nih di DM instagram maupun WA. Saya mahasiswi S1 Arsitektur UIN Malang yang lulus tahun 2019, dan saat ini sedang menempuh pendidikan S2 di Arsitektur Lanskap IPB, banyak yang nanya, "Susah ngga sih masuk IPB?" "Arsitektur ambil Lanskap worth it ga sih ?" "Susah nggak kuliah di Lanskap?" Well, I will answer one by one . Pertama, masuk di IPB engga sesusah itu, engga ada tes tertulis ataupun tes wawancara,  tapi yang baru saya sadari di semester tiga ini, keluar dari IPB sulit cuuuy , wkwkwk sulitnya karna ada banyak banget yang harus diselesaikan buat ujian tesis. Kayak harus menghadiri seminar dari rumpun  ilmu lain, dan harus submit jurnal minimal SINTA2. Kedua, Arsitektur ambil Lanskap ilmu yang sejalan ga sih ? Well , ini agak bertolak belakang sebenernya , karna biarpun sama-sama Ars...