Aruna menatap sendu pada sungai yang mengalir, memberi nuansa hidup pada hidupnya yang sunyi. 35 tahun setelah kematian suaminya, meninggalkan dirinya seorang diri tanpa anak. Tak hanya meninggalkan jejak rindu kebersamaan, tapi juga harta yang bergelimang. Tak hanya menyisakan kenangan indah, tapi juga kesunyian yang berjalan.
Dialihkannya tatapannya pada makanan di meja kayu jati yang sewarna dengan gula jawa, dipikirnya kembali. 500 ribu untuk satu mangkuk mie dan seafood serta segelas smoothies mangga. Duduk sendiri, disuguhi cahaya lilin, menikmati tenggelamnya matahari yang seolah hanya angin lalu.
Aruna semakin waktu semakin menyadari kesendiriannya, sudah cukup banyak krim anti aging yg dia habiskan tetap tak mampu menutupi kerut di tiap inci kulit mulusnya, dirinya semakin sadar sudah berapa lama dia habiskan dalam kesunyian, menjadi aktris panggung sandiwara dunia, memakai topeng dalam tiap jengkal langkahnya, dan membentuk senyum hanya demi awet muda.
Ah, terlalu larut dalam sepi adalah hal yang berharga baginya. Tempat nya berdialog dengan jiwa sendirinya.
Terkadang dia berpikir, apa hanya sebatas ini saja hidupnya, hidup yang tidak hidup. Suara yang tidak terdengar. Atau rasa yang tidak bergetar.
Terkadang dia rindu perasaan membuncahnya saat menyandarkan diri dalam sujud. Terkadang dia rindu getaran jiwanya tiap nama Sang Khalik terdengar dari tepian kota.
Semenjak merantau, bekerja, menikah, dan menjanda hidupnya semakin sepi. Rasa yang membuncah, atau jiwa yang bergetar terasa sangat terindu, namun tak dapat dia kondisikan bagaimana untuk ramah terhadap perasaan perasaan baru.
Dia rindu Tuhannya
Umara Hasibuan
21 November 2018
Taman Indie Malang
Komentar
Posting Komentar