Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2019

Menikah

Tentang  banyaknya undangan pernikahan yang saya terima kurang dari tiga bulan ini, menyadarkan saya bahwa saya sudah setua itu untuk terus memikirkan diri sendiri. Bukan tentang rasa iri karena yang lain sudah berpasangan, toh Rezki, jodoh, dan maut itu adalah hal pasti, yang masih jadi abu abu, hanya perihal surga dan neraka. Satu persatu teman teman mulai menyebar undangan, mulai pasang foto dengan cincin di jari manis sebelah kiri yang menandakan akan segera juga melepas status single. Seperti yang saya katakan sebelumnya, saya jadi mulai sadar dengan umur. Dua puluh satu menuju dua puluh dua adalah angka yang fantastis ternyata, saya sudah melewati dua dekade lebih dalam hidup. Tapi urusan yang serius seperti menikah masih belum bisa tertanam kokoh di hati, masih dikalahkan bahwa saya harus lulus sekolah, untuk saya, untuk tanggung jawab saya, dan untuk orang tua saya. Dan buat teman teman yang sudah berjalan bersama gandengan untuk meraih Jannah bersama, Barakallah, semoga ...

Apakah Keadilan Masih Untuk Semua?

Gadis kecil dengan ringkih mengayuh kaki menuju cahaya Melawati temaram sinar buatan tangan manusia Malam menjadi kegelapan yang tak ada habisnya Gadis kecil yang tak lagi indah saat mulai menampakkan raga Tak lagi bahagia saat mulai merangkai tawa Gadis kecil dengan sejuta doa Gadis kecil dengan kerapuhan yang nyata Mereka bilang dunia sama adilnya Mereka bilang hati sama lebarnya Dan mereka bilang bahagia punya semua Menipiskan dahaga untuk menyambung nyawa Atau meninggikan dagu untuk menahan rasa Menjadi jawaban atas segala kepunahan putus asa Jauh dari sana tak lagi terlihat nyata Hanya puluhan bom yang sudah menjadi biasa Dekap nyata tak lagi terasa hangatnya Hanya air mata yang menjadi selimut rasa Apakah keadilan masih untuk semua? Umara Hasibuan Malang, 20 Februari 2019

Liku Liku Merantau

Sebenarnya sudah lama rasanya ingin menuangkan ini dalam tulisan. Tahun ke empat menjadi mahasiswa perantauan saya mulai menyadari seberapa besar pengaruh merantau pada diri saya. Jauh dari rumah bukan hal mudah, pertama kali menuju Malang, kepergian saya disertai doa dan air mata ibu dan ayah. Saya sudah akan memulai hidup bersosialisasi yang jauh. Tak lagi sering diganggu sama permintaan ini itu dari si bungsu. Atau, tak lagi mengajarkan hitungan sederhana untuk si bungsu sembari menunggu isya. Ujian paling berat berada jauh adalah ujian ketebalan iman. Kenapa harus iman? Tak bisa dipungkiri saat waktu tidur terkuras di malam hari, ada ibu yang siap sedia membangunkan saat Subuh. Atau ada yang mengingatkan untuk Dzuhur dan Ashar. Atau mengingatkan membuka mushaf setelah Maghrib, dan juga larangan memutar televisi sebelum semuanya melaksanakan Isya. Kalau jauh , tak lagi ada yang membangunkan Subuh selain alarm dan juga Adzan, menjadi mudah untuk mengulur waktu Dzuhur dan Ashar, m...